23.12.11

Peperangan Dalam Diri

Manusia tidak diciptakan di bumi ini tanpa nafsu seperti malaikat, manusia kadang terbawa oleh nafsu dan godaan setan sehingga meyimpang dari aturan Allah swt, dan manusia juga membutuhkan nafsu itu, untuk hidup, mendapatkan kasih sayang, dan nafsu jugalah yang mendorong manusia untuk mendapatkan surga. Tetapi syaitan senantiasa menggoda manusia untuk membawa nafsu ini ke arah yang salah. Seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang bisa memimpin dirinya sendiri, dirinya tunduk atas kehendaknya, bukan kehendak syaitan yang memainkan hawa nafsu sehingga menjerumuskan ke dalam neraka.
Frederick Agung adalah Raja Prusia yang terkenal. Pada suatu ketika ia sedang berjalan-jalan di pinggiran kota Berlin. Ketika dia bertemu dengan laki-laki tua yang sedang berjalan ke arah yang berlawanan, kemudian ia bertanya:
“Kau siapa?” tanya Frederick (Raja Prusia)
“Saya raja,” jawab laki-laki tua itu.
“Raja!?” Frederick tertawa. “Atas kerajaan mana kau memerintah?”
“Atas diri saya sendiri,” jawab laki-laki tua dengan bangga.
Pekerjaan inilah yang sebenarnya paling berat, memimpin diri sendiri melawan hawa nafsu, adalah sebuah disiplin diri. Disiplin diri ini adalah bagaimana mencapai apa yang sungguh-sungguh diharapkan dengan tidak melakukan hal-hal yang diinginkan.
Musuh yang paling berat sebenarnya adalah diri sendiri, dan seorang pemimpin harus mengenali siapa lawan dan siapa kawan di dalam dirinya. Tanpa pengetahuan akan hal ini maka ia akan menjadi budak akan pemikiran yang diciptakannya sendiri.
Saya akan menceritakan sekelumit kisah heroik, yaitu perang Badar, di mana di dalamnya terjadi 2 peperangan, yaitu peperangan melawan diri sendiri, antara ketakutan dan keberanian(keimanan), dan inilah peperangan sesungguhnya melawan tentara Quraisy. Saya berharap anda mampu mengambil teladan dari kisah-kisah nyata di bawah ini, meskipun tidak saya jelaskan maknanya secara keseluruhan namun ini menyangkut juga peperangan di dalam diri kita sendiri.
Pada hari ke-8 bulan Ramadhan tahun ke-2 Hijriyah, Nabi Muhammad SAW dan para sahabat meninggalkan Madinah. Mereka berangkat untuk peperangan melawan kaum musyrik bangsa Quraisy yang selama ini menginjak-injak kaum muslimin. Jumlah mereka 350 orang dan mereka membawa 70 ekor unta yang dinaiki secara silih berganti. Dalam hal ini, Rasulullah juga mendapat bagian yang sama – Dia, Ali bin Abi Thalib r.a. dan Marthad bin Marthad Al Gharawi bergantian naik seekor unta.


Setelah mereka mendekati mata air, Rasulullah berhenti. Ada seseorang yang bernama Hubab bin Mundhir bin Jamuh, orang yang paling banyak mengenal tempat itu, setelah dilihatnya nabi turun di tempat itu ia bertanya: “Rasulullah, mengapa anda berhenti di tempat ini?” Kalau ini sudah wahyu Allah, kita tidak akan maju atau mundur setapak-pun dari tempat ini. Ataukah ini pendapat tuan sendiri, atau suatu taktik belaka?” “Sekedar pendapat dan taktik perang”, Jawab Rasulullah. “Rasulullah”, katanya lagi. “Kalau begitu, tidak tepat kita berhenti di sini. Mari kita pindah sampai ke tempat mata air terdekat dari mereka (musuh), lalu sumur-sumur kering yang di belakang itu kita timbun. Selanjutnya kita buat kolam, kita isi air sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka berperang. Kita akan mendapat air minum, mereka tidak”. Mendengar saran yang begitu tepat itu, Rasulullah dan rombongannya secara segera pula bersiap-siap mengikuti pendapat temannya itu.
Inilah sebuah teladan dari sikap demokratis nabi Muhammad SAW, di mana dia mampu mendahulukan dan mendukung pendapat dari salah satu anak bauhnya di hadapan para pengikutnya, meskipun ia adalah seorang rasul yang sangat disegani. Nabi mengutus kurir untuk mengumpulkan informasi dari sebuah tempat di Badar. Mereka tidak berhasil mengetahui jumlah bala tentara pihak Quraisy. Ditanya lagi kurir tersebut oleh Rasulullah: “Berapa ekor ternak yang mereka potong tiap hari?” “Kadang-kadang sehari sembilan, kadang sehari sepuluh”, jawab mereka. Dengan demikian nabi dapat mengambil kesimpulan bahwa jumlah mereka sekitar 900 sampai 1000 orang. Juga dari kedua orang (kurir) itu dapat diketahui bahwa bangsawan-bangsawan Quraisy ikut serta memperkuat diri. Lalu ia berkata kepada para sahabatnya : “Lihatlah, sekarang Mekah(musuh) sudah menghadapkan bunga-bunga bangsanya kepada kita.”
Kalimat itu memberikan dorongan semangat kepad sahabat-sahabat mengingat jumlah lawan jauh lebih besar dan dengan perlengkapan yang lebih baik. Mereka harus siap menghadapi peperangan sengit dan dahsyat yang takkan dapat dimenangkan kecuali dengan iman yang kuat yang memenuhi qolbu, iman dan kepercayaan akan adanya kemenangan, inilah kemenangan pertama, sebelum peperangan sesungguhnya dimulai, yaitu peperangan melawan diri sendiri, ketika menghadapi dan mengalahkan rasa takut melihat kenyataan akan berhadapan dengan lawan yang jumlahnya tiga kali lebih kuat.
Sekrang jumlah pasukan yang tidak seimbang itu sudah berdekatan. Tiga ratus orang melawan seribu orang. Diawali dengan duel satu per satu antara Aswad bin Abd’l-‘Asad dari Quraisy melawan Hamzah dari pihak muslimin. Denga cepat Hamzah mengayunkan pedangnya ke kaki Aswad. Aswad terjatuh dengan kaki terluka. Sekali lagi Hamzah mengayunkan pedangnya. Aswad tewas tersungkur. Ali bin Abi Thalib r.a berhadapan dengan Ubaidah ‘L-Harith. Ubaidah tewas terbunuh di tangan Ali bin Abi Thalib r.a.
Pada Jum’at pagi 17 ramadhan itulah kedua pasukan berhadap-hadapan muka.sekarang Rasulullah sendiri yang tampil memimpin kaum muslimin, mengatur barisan. Dilihatnya pasukan Quraisy yang begitu besar jumlahnya, sedang anak buahnya sedikit sekali – jiwanya begitu kuat, yang telah diberikan Allah, begitu tinggin melampaui segala kekuatan; yang telah tertanam pula dengan ajarannya ke dalam jiwa orang-orang beriman. Dan kekuatan mereka itu sudah melampaui semangat mereka sendiri. Setiap orang dari mereka sama dengan 2 orang, bahkan sama dengan sepuluh orang.
Diambilnya segenggam pasir, dihadapkannya kepada Quraisy, “Celakalah wajah-wajah mereka itu!” katanya sambil menaburkan pasir itu ke arah mereka. Lalu memberi komando “Serbu!”. Serentak pihak muslimin menyerbu ke depan. Jiwa mereka penuh terisi oleh semangat dari Tuhan. Malaikat maut sibuk memunguti nyawa dari leher orang-orang kafir Quraisy. Kaum muslimin terus mengejar mereka. Inilah perang Badar yang kemudian memberikan tempat dan contoh kepada ummat islam. Contoh kepemimpinan Rasulullah sebagai seorang pemimpin yang telah membuktikan diri bahwa kata-katanya sungguh-sungguh sesuai dengan perkataanya di lapangan. Dia tidak hanya sebagai pemimpin yang dicintai, dipercaya dan pembimbing, tetapi juga seorang pemimpin yang sangat pemberani.
Di Akhir perang Badar ayng sangat dahsyat itu, beliau berpesan kepada sahabatnya, sebuah pesan yang sangat terkenal:”Kita baru saja menghadapi peperangan yang berat, dan peperangan yang sangat berat sesungguhnya adalah perang melawan hawa nafsu.” Dan perang inilah yang kita hadapi sekarang, yaitu perang melawan diri sendiri.

Sumber: Emotional Spiritual Quotient(ESQ), Ari Ginanjar Agustian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.